Setelah
melakukan kunjungan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat di Kecamatan Merlung yang
terdiri atas dua desa yakni Desa Tanjung Bananak dan Desa Lampisi Jaya.
Kecamatan merlung salah satu kecamatan yang indah dengan hamparan kelapa sawit
menuju 2 desa yang menjadi kunjungan. Kebanyakan warga desanya berkebun kelapa
sawit dan mayoritas warga juga transmigran yang berasal dari Jawa, Kalimantan,
Sumatera dan Sulawesi. Banyak warganya yang tergolong kelas menengah kalau di
lihat dari kondisi bangunan rumah yang mereka miliki. Kondisi ini akan mewakili
dua pertanyaan sekaligus apa betul disana tidak ada masalah terkait dengan
perkebunan kelapa sawit atau sebaliknya. Seperti daerah lain isu terkait kelapa
sawit selalu di ikuti dengan isu petani yang sangat menarik untuk di gali
masalahnya. Terutama terkait dengan praktek-praktek dilakukan petani, bagaimana
hubungan petani dengan perusahaan, petani dengan isu keberlanjutan
(sustainability), petani dengan rantai pasok harga, petani dengan lembaga
keungan sekitar serta petani dengan kehidupan sosial sekitar. Yang biasanya
semua faktor ini akan bermuara pada petanyaan besar yaitu bagaimana
kesejahteraan petani ? hal-hal ini juga terjadi di kecamatan merlung yang
menjadi tujuan kunjungan kami disana punya masalah yang sama.
1. Desa
Tanjung Bananak
Desa
Tanjung Bananak (SP 2) merupakan wilayah transmigrasi yang berbasiskan kelapa
sawit sebagai andalan masyrakat. Jumlah penduduk sekitar 3. 000 jiwa. Semua
masyrakat berkebun sawit yang rata-rata memiliki kebun plasma dan juga memiliki
kebun swadaya sendiri.
Ada
beberapa isu penting terkait dengan perkebunan kelapa sawit baik itu perkebunan
plasma maupun kebun swadaya/mandiri. Pertama isu masalah harga, dengan harga
yang di terima oleh petani yang sangat rendah terutama petani plasma atau TBS
yang asal nya dari kebun plasma sangat rendah, hal ini disebabkan oleh
penetapan harga yang di lakukan oleh perusahaan dengan mengacu pada Permentan
No 14 Tahun 2013 Tentang Penetapan Harga TBS, dan juga penetapan harga tersebut
tidak di ajak perwakilan petani. sementara di saat yang bersamaan harga untuk
TBS yang asal buahnya dari kebun swadaya/mandiri lebih tinggi. kondisi ini
menimbulkan beberapa dampak terhadap petani seperti 1. Terjadinya penurunan
pendapatan petani yang selanjutnya berakibat pada konsumsi petani, 2. Kredit
yang terlanjur di ambil oleh petani di lembaga keuangan sekitar tidak dapat di
bayar sehingga beberapa petani banyak menjual lahan sawit untuk menutupi
kewajiban tersebut, 3. Tidak dapat memenuhi biaya anak yang sementara
melanjutkan kuliah dan untuk menutupi ini prakteknya sama jual lahan.
Kedua
masalah keuangan yang belum inklusif dengan petani sawit, masalah ini muncul
karena lembaga keuangan disekitar kecamatan masih melihat petani tidak kapabel
dengan kondisi yang ada. Terlebih lagi ditambah dengan masalah persyaratan yang
ruwet menurut dan sulit untuk dipenuhi terutama pada petani swadaya yang juga
masih bermasalah dengan kepemilikan lahan. Kondisi berdampak pada sistem keuangan
yang instan di pake oleh petani yakni tengkulak yang biasanya menentukan
sendiri bunganya.
Ketiga
masalah peremajaan (Replanting)
tanaman petani yang rata-rata usia tanam kelapa sawit antara tahun 1991-1992
yang menuntut Replanting. Terkait
masalah ini petani dihadapkan pada harap-harap cemas dan ambigu yakni disatu
sisi petani ingin melakukan Replanting
tapi di sisi lain petani belum siap untuk melakukan ini karena belum ada solusi
yang tepat bisa dilakukan selama masa Replanting
berlangsung. Sehingga dampaknya petani dipaksa untuk mengelola kebun yang tidak
lagi produktif. Harapan petani ke depan ada solusi ekonomi produktif yang bisa
mengatasi ini semua.
Keempat
isu pupuk yang mahal. Sementara secara bersamaan harga jual TBS yang di terima
petani sangat rendah, dengan kata lain ada selisih yang tidak menguntungkan
petani.
Kelima
isu pemakaian pupuk non organik yang sudah mulai di pakai untuk keperluan
pemupukan kelapa sawit. Kondisi ini mengabarkan petani sudah mulai cerdas untuk
mencari alternatif untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan masalah ketergantungan
dengan pupuk kimia, hal ini menarik dan banyak harapan petani diantaranya, 1.
Ke depan mereka menginginkan indukkan sapi yang dari pemerintah, 2. Adanya
dukungan terkait dengan pengadaan pabrik pakan ternak dengan memanfaatkan
limbah sawit. Dan juga dengan mengunakan pupuk organik tersebut produksi kelapa
sawit meningkat dan menekan pembelian pupuk.
2. Desa
Lampisi Jaya
Sama
dengan desa Tanjung Bananak desa ini juga merupakan desa yang sebagian besar
penduduknya adalah transmigrasi. Jumlah penduduknya kisar 3.000 jiwa. Andalan
utama adalah berkebun kelapa sawit yang terdiri dari kebun plasma dan kebun
swadaya/mandiri, yang kira-kira kebun mandiri sekitar 3.000-4.000 hektar dengan
status lahan yang sudah bersertifikat semua.
Ada
beberapa isu yang menarik di Desa Lampisi Jaya. Untuk yang pertama isu tentang
harga yang rendah, dimana harga plasma lebih rendah dibandingkan dengan harga
TBS swadaya/mandiri. Kondisi ini berdampak pada penurunan pendapatan petani,
dan selanjutnya berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi petani. terutama ibu
rumah tangga dan petani yang memiliki kredit di bank dan memiliki tanggungan
kuliah anak.
Kedua
terkait dengan masalah kemauan petani untuk bergabung dengan organisasi petani.
hal karena petani merasa tidak dipenuhi haknya terutama terkait dengan
perjuangan untuk masalah harga TBS. kondisi ini diakibatkan beberapa
faktor-faktor terutama ada pihak-pihak yang mendesain untuk kondisi ini
misalnya dari tengkulak dan perusahaan sekitar desa.
Ketiga
terkait dengan masalah isu RSPO dan ISPO yang di mata petani tidak terlalu
penting. Hal ini diakibatkan informasi petani yang tidak mendalam tentang isu
tersebut dan petani hanya melihat RSPO dan ISPO pada kacamata harga sawit semata.
Petani beranggapan untuk apa masuk dalam RSPO dan ISPO kalau harga jual juga di
bawah perhitungan petani. contohnya harga TBS plasma (TBS yang masuk kategori
RSPO dan ISPO) dibawah harga TBS swadaya/mandiri yang kebanyakan belum
bersertifikat.
Keempat
isu Koperasi yang tidak sejalan dengan aparat desa dan masyrakat desa. koperasi
plasama yang ada hanya digunakan pada saat DO TBS tidak ada kegiatan yang bisa
menguatkan posisi petani dan terkesan di kendalikan langsung oleh perusahaan.
Kondisi ini diakibatkan oleh sebagian pengurus inti koperasi adalah orang-orang
perusahaan dimana posisinya lebih memihak pada perusahaan ketimbang petani,
laporan tahunan koperasi biasanya langsung di susun oleh orang-orang perusahaan
seperti ketika ada audit pihak yang terkait.
Kelima
masalah dana CPO yang pengelolanya tidak di kembalikan kepada koperasi. dana
yang terkumpul dikelola langsung oleh perusahaan dan setiap tahun perusahaan
mendesain acara dengan anggaran dana tersebut, dan biasanya peserta kegiatan
tersebut banyak karyawan perusahan yang disertakan ketimbang petani sawit.
Keenam
praktek cerdas petani dengan mengintegrasikan peternakan sebagai pupuk kelapa
sawit. Terdapat kandang kambing yang kotorannya di tampung untuk pupuk, hal ini
bisa menekan pembelian pupuk kimia dan dengan pemupukan menggunakan kotoran ini
produksi bisa meningkat dengan penambahan bobot pada setiap tandan TBS sangat
berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia.
Ketujuh
permintaan kepala desa untuk bersama-sama membangun kapasitas petani desa. Desa
Lampisi memiliki komitmen untuk memperkuat kelembagaan petani dengan
mengintegrasikan perangkat dan lembaga desa dengan organisasi petani yang ingin
membatu. Karena terkait dengan masalah sertifikasi perlu di sosialisasikan
kepada petani pentingnya petani tersertifikasi. Kedepan ada upaya bagaimana
BUMDes bisa menjadi badan usaha yang bisa memfasilitasi semua kepentingan
petani.
29, January 2016
Sabarudin-
Peneliti Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)