Minggu, 06 Januari 2019

Persyaratan Jadi Ganjalan Peremajaan Sawit Rakyat


Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi salah satu program pemerintah Joko Widodo dalam upaya meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat. Program ini dimulai semenjak 2017 lalu dengan target mencapai 20 ribu ha, lantas dilanjutkan pada 2018 ditambah targetnya sebanyak 185 ribu ha.
Sayangnya program itu tidak seperti yang dibayangkan, banyaknya kendala telah membuat program Peremajaan Sawit Rayat seolah jalan di tempat. Apalagi merujuk informasi pengucuran dana peremajaan sawit rakyat baru sekitar 4,5% dari total dana dan dana yang sudah masuk ke petani baru sekitar 0,5%.
Sabarudin dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai, sulitanya program peremajaan sawit rakyat itu lantaran sederet persyaratan yang ditetapkan kepada petani kelapa sawit. Alih-alih hendak meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit, yang muncul beragam biaya admnistrasi pengurusan prasyarat peremajaan sawit rakyat.
Lebih lanjut kata Sabarudin, pihak saat ini sedang menganalisa kendala dan biaya yang ditimbulkan dalam memenuhi prasyarat untuk bisa memperoleh pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). “Perhitungan sementara untuk memenuhi persyaratan itu butuh dana sekitar Rp 10-15 juta,” katanya kepada InfoSAWIT, belum lama ini.
Kondisi ini diakibatkan, antara penerapan regulasi di pusat dan daerah tidak selaras. Apalagi dari prasyarat yang harus diikuti petani sawit, dari penelusuran InfoSAWIT setidaknya harus memenuhi sekitar 34 persyaratan yang harus dipenuhi petani bila menginginkan memperoleh bantuan pendanaan dari program peremajaan sawit rakyat merujuk.
Beberapa persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh koperasi, lantas memenuhi persyaratan dari Dinas Perkebunan Kabupaten setempat, persayaratan dari Dinas Perkebunan Provinsi, serta syarat dari pemerintah pusat yakni berupa surat pengantar rekapitulasi usulan dan surat rekomnedasi teknik ke BPDP-KS. 

Sumber : https://www.infosawit.com/news/8185/34-persyaratan-jadi-ganjalan-peremajaan-sawit-rakyat

Kamis, 28 Januari 2016

Melihat Petani Sawit di Jambi




Setelah melakukan kunjungan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat di Kecamatan Merlung yang terdiri atas dua desa yakni Desa Tanjung Bananak dan Desa Lampisi Jaya. Kecamatan merlung salah satu kecamatan yang indah dengan hamparan kelapa sawit menuju 2 desa yang menjadi kunjungan. Kebanyakan warga desanya berkebun kelapa sawit dan mayoritas warga juga transmigran yang berasal dari Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Banyak warganya yang tergolong kelas menengah kalau di lihat dari kondisi bangunan rumah yang mereka miliki. Kondisi ini akan mewakili dua pertanyaan sekaligus apa betul disana tidak ada masalah terkait dengan perkebunan kelapa sawit atau sebaliknya. Seperti daerah lain isu terkait kelapa sawit selalu di ikuti dengan isu petani yang sangat menarik untuk di gali masalahnya. Terutama terkait dengan praktek-praktek dilakukan petani, bagaimana hubungan petani dengan perusahaan, petani dengan isu keberlanjutan (sustainability), petani dengan rantai pasok harga, petani dengan lembaga keungan sekitar serta petani dengan kehidupan sosial sekitar. Yang biasanya semua faktor ini akan bermuara pada petanyaan besar yaitu bagaimana kesejahteraan petani ? hal-hal ini juga terjadi di kecamatan merlung yang menjadi tujuan kunjungan kami disana punya masalah yang sama. 
1.      Desa Tanjung Bananak
Desa Tanjung Bananak (SP 2) merupakan wilayah transmigrasi yang berbasiskan kelapa sawit sebagai andalan masyrakat. Jumlah penduduk sekitar 3. 000 jiwa. Semua masyrakat berkebun sawit yang rata-rata memiliki kebun plasma dan juga memiliki kebun swadaya sendiri.
Ada beberapa isu penting terkait dengan perkebunan kelapa sawit baik itu perkebunan plasma maupun kebun swadaya/mandiri. Pertama isu masalah harga, dengan harga yang di terima oleh petani yang sangat rendah terutama petani plasma atau TBS yang asal nya dari kebun plasma sangat rendah, hal ini disebabkan oleh penetapan harga yang di lakukan oleh perusahaan dengan mengacu pada Permentan No 14 Tahun 2013 Tentang Penetapan Harga TBS, dan juga penetapan harga tersebut tidak di ajak perwakilan petani. sementara di saat yang bersamaan harga untuk TBS yang asal buahnya dari kebun swadaya/mandiri lebih tinggi. kondisi ini menimbulkan beberapa dampak terhadap petani seperti 1. Terjadinya penurunan pendapatan petani yang selanjutnya berakibat pada konsumsi petani, 2. Kredit yang terlanjur di ambil oleh petani di lembaga keuangan sekitar tidak dapat di bayar sehingga beberapa petani banyak menjual lahan sawit untuk menutupi kewajiban tersebut, 3. Tidak dapat memenuhi biaya anak yang sementara melanjutkan kuliah dan untuk menutupi ini prakteknya sama jual lahan. 
Kedua masalah keuangan yang belum inklusif dengan petani sawit, masalah ini muncul karena lembaga keuangan disekitar kecamatan masih melihat petani tidak kapabel dengan kondisi yang ada. Terlebih lagi ditambah dengan masalah persyaratan yang ruwet menurut dan sulit untuk dipenuhi terutama pada petani swadaya yang juga masih bermasalah dengan kepemilikan lahan. Kondisi berdampak pada sistem keuangan yang instan di pake oleh petani yakni tengkulak yang biasanya menentukan sendiri bunganya.
Ketiga masalah peremajaan (Replanting) tanaman petani yang rata-rata usia tanam kelapa sawit antara tahun 1991-1992 yang menuntut Replanting. Terkait masalah ini petani dihadapkan pada harap-harap cemas dan ambigu yakni disatu sisi petani ingin melakukan Replanting tapi di sisi lain petani belum siap untuk melakukan ini karena belum ada solusi yang tepat bisa dilakukan selama masa Replanting berlangsung. Sehingga dampaknya petani dipaksa untuk mengelola kebun yang tidak lagi produktif. Harapan petani ke depan ada solusi ekonomi produktif yang bisa mengatasi ini semua.
Keempat isu pupuk yang mahal. Sementara secara bersamaan harga jual TBS yang di terima petani sangat rendah, dengan kata lain ada selisih yang tidak menguntungkan petani.
Kelima isu pemakaian pupuk non organik yang sudah mulai di pakai untuk keperluan pemupukan kelapa sawit. Kondisi ini mengabarkan petani sudah mulai cerdas untuk mencari alternatif untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan masalah ketergantungan dengan pupuk kimia, hal ini menarik dan banyak harapan petani diantaranya, 1. Ke depan mereka menginginkan indukkan sapi yang dari pemerintah, 2. Adanya dukungan terkait dengan pengadaan pabrik pakan ternak dengan memanfaatkan limbah sawit. Dan juga dengan mengunakan pupuk organik tersebut produksi kelapa sawit meningkat dan menekan pembelian pupuk.
2.      Desa Lampisi Jaya
Sama dengan desa Tanjung Bananak desa ini juga merupakan desa yang sebagian besar penduduknya adalah transmigrasi. Jumlah penduduknya kisar 3.000 jiwa. Andalan utama adalah berkebun kelapa sawit yang terdiri dari kebun plasma dan kebun swadaya/mandiri, yang kira-kira kebun mandiri sekitar 3.000-4.000 hektar dengan status lahan yang sudah bersertifikat semua. 
Ada beberapa isu yang menarik di Desa Lampisi Jaya. Untuk yang pertama isu tentang harga yang rendah, dimana harga plasma lebih rendah dibandingkan dengan harga TBS swadaya/mandiri. Kondisi ini berdampak pada penurunan pendapatan petani, dan selanjutnya berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi petani. terutama ibu rumah tangga dan petani yang memiliki kredit di bank dan memiliki tanggungan kuliah anak.
Kedua terkait dengan masalah kemauan petani untuk bergabung dengan organisasi petani. hal karena petani merasa tidak dipenuhi haknya terutama terkait dengan perjuangan untuk masalah harga TBS. kondisi ini diakibatkan beberapa faktor-faktor terutama ada pihak-pihak yang mendesain untuk kondisi ini misalnya dari tengkulak dan perusahaan sekitar desa.
Ketiga terkait dengan masalah isu RSPO dan ISPO yang di mata petani tidak terlalu penting. Hal ini diakibatkan informasi petani yang tidak mendalam tentang isu tersebut dan petani hanya melihat RSPO dan ISPO pada kacamata harga sawit semata. Petani beranggapan untuk apa masuk dalam RSPO dan ISPO kalau harga jual juga di bawah perhitungan petani. contohnya harga TBS plasma (TBS yang masuk kategori RSPO dan ISPO) dibawah harga TBS swadaya/mandiri yang kebanyakan belum bersertifikat.
Keempat isu Koperasi yang tidak sejalan dengan aparat desa dan masyrakat desa. koperasi plasama yang ada hanya digunakan pada saat DO TBS tidak ada kegiatan yang bisa menguatkan posisi petani dan terkesan di kendalikan langsung oleh perusahaan. Kondisi ini diakibatkan oleh sebagian pengurus inti koperasi adalah orang-orang perusahaan dimana posisinya lebih memihak pada perusahaan ketimbang petani, laporan tahunan koperasi biasanya langsung di susun oleh orang-orang perusahaan seperti ketika ada audit pihak yang terkait.
Kelima masalah dana CPO yang pengelolanya tidak di kembalikan kepada koperasi. dana yang terkumpul dikelola langsung oleh perusahaan dan setiap tahun perusahaan mendesain acara dengan anggaran dana tersebut, dan biasanya peserta kegiatan tersebut banyak karyawan perusahan yang disertakan ketimbang petani sawit.
Keenam praktek cerdas petani dengan mengintegrasikan peternakan sebagai pupuk kelapa sawit. Terdapat kandang kambing yang kotorannya di tampung untuk pupuk, hal ini bisa menekan pembelian pupuk kimia dan dengan pemupukan menggunakan kotoran ini produksi bisa meningkat dengan penambahan bobot pada setiap tandan TBS sangat berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia.
Ketujuh permintaan kepala desa untuk bersama-sama membangun kapasitas petani desa. Desa Lampisi memiliki komitmen untuk memperkuat kelembagaan petani dengan mengintegrasikan perangkat dan lembaga desa dengan organisasi petani yang ingin membatu. Karena terkait dengan masalah sertifikasi perlu di sosialisasikan kepada petani pentingnya petani tersertifikasi. Kedepan ada upaya bagaimana BUMDes bisa menjadi badan usaha yang bisa memfasilitasi semua kepentingan petani.

29, January 2016

Sabarudin-
Peneliti Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)


CPO Fund dan Dana Untuk Petani





Dengan alasan untuk untuk mendorong pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit yang berkelanjutan. Indonesia menetapkan pungutan sebesar 15 persen dari setiap satu ton penjualan ekspor crude palm oil (CPO) atau yang lebih dikenal dengan CPO Fund. Kebijakan ini mulai di berlakukan terhitung 1 juli 2015.
Begitu di berlakukan dana CPO Fund langsung terkumpul sebesar 1,3 triliun pada tahun 2015, sehingga kondisi ini mengabarkan dua hal sekaligus pertama potensi untuk mendukung pembangunan kelapa sawit secara mandiri dan berkelanjutan sangat terbuka lebar dengan dana yang di pungut dari CPO Fund, sementara yang kedua tentu akan menguji sejauh mana tujuan dari CPO Fund yang ada bisa sampai pada hilir pengembangan kelapa sawit Indonesia terutama pada penguatan petani sebagai salah pemilik saham dari CPO Fund tersebut.
Kondisi ini juga yang banyak di bicarakan dalam diskusi yang digelar oleh kementerian pertanian dan IPOP pada tanggal 20 januari 2015 dengan tema dukungan pembiayaan untuk lenskep perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan pekebun. Setidaknya dalam acara ini bisa menjawab salah satu nya terkait dengan misi-misi yang menjadi sasaran dari CPO Fund yang lebih pada bagaimana membangun perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan. ini menarik karena seharusnya pemerintah melalui dana CPO Fund tersebut lebih proaktif pada bagaimana mendesain petani untuk bisa mendapatkan akses keuangan yang memadai dari dana tersebut tetapi sebaliknya.
Dalam acara ini turut hadir dari perwakilan petani yakni serikat petani kelapa sawit (SPKS) dan gabungan petani kelapa sawit Indonesia (GAPKI). Semua pihak harus memikirkan tentang sitem yang baik untuk keungan petani kedepan karena kalau bicara tentang keberlanjutan perkebunan kelapa sawit Indonesia ujung tombaknya adalah petani karena mereka lah yang saat ini menguasai perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Untuk itu perlu ada keberpihakan dari semua yang pihak terutama pemerintah. Pak sustowil perwakilan dari SPKS menyoal tentang sistem perbankan Indonesia untuk menopang keungan petani sangat sulit selama bank masih menilai nasabah yang tidak kapabel dalam kacamata perkreditan bank itu sendiri, ditambah lagi dengan syarat bank yang sangat sulit untuk di penuhi oleh petani. sementara di juga pada kebijakan pemerintah terkait dengan CPO Fund yang lebih tertarik pada bagaimana menyupsidi biodiesel ketimbang bagaimana berpihak terhadap petani dan terkesan ragu-ragu untuk masuk pada bagaimana mendesai keungan petani yang mandiri.
Dalam diskusi tersebut SPKS meminta keseriusan dari badan pengelola CPO Fund tersebut serius untuk mengurusi kebutuhan petani ketimbang mengurusi yang lain karena kalau misalnya tujuan awal kita adalah bagaimana keberlanjutan perkebunan kelapa sawit maka kita harus yakin bahwa petani adalah bisa diandalkan dalam hal ini. Dan kalau misalnya terkait dengan kekhawatiran badan pengelola CPO Fund terkait dengan masalah internal petani SPKS sejak lama sudah komitmen dengan ini.  Memang ada masalah yang dihadapi oleh badan penegelola CPO Fund yakni terkait dengan satatus lahan petani yang menjadi masalah ketika berencana untuk membiayayi petani misalnya dalam hal peremajaan kebun petani (replenting) untuk itu disini bisa di shere tanggung jawab bersama pemerintah dan SPKS bisa bekerja sama untuk mengurusi masalah ini. Karena kalau masalah seperti ini harus tuntas sebelum CPO Fund sampai pada petani dan juga agar dana ini tidak sia-sia.

Bogor Baru 29, januari 2016
Sabarudin Peneliti Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
 

Persyaratan Jadi Ganjalan Peremajaan Sawit Rakyat

Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi salah satu program pemerintah Joko Widodo dalam upaya meningkatkan produktivitas perkebunan kelap...